Proyek konstruksi identik dengan banyak
kerjaan dan banyak masalah. Bagaimana tidak? Dapat dibayangkan bahwa
dalam proyek konstruksi harus mengelola begitu banyak item pekerjaan,
tingkat kesulitan tinggi, banyak hal-hal yang tidak terprediksi, risiko
yang tinggi, jalur komunikasi yang banyak, dan keterbatasan resources.
Pendek kata so complicated, yang memunculkan banyak masalah dalam
pelaksanaannya.
Budaya Kerja di Proyek Konstruksi
Sudah jadi pendapat umum di lingkungan
kita bahwa orang-orang proyek konstruksi umumnya bekerja dengan durasi
jauh di atas rata-rata dibanding dengan bidang pekerjaan yang lainnya.
Hampir setiap hari LEMBUR bahkan mereka sering bekerja di hari libur.
Kira-kira yang mereka kerjakan hingga harus bekerja ekstra keras
biasanya adalah:
· Perhitungan volume pekerjaan
yang banyak yang biasanya sering salah atau tidak akurat. Sehingga untuk
melakukan perbaikan perlu effort yang besar.
· Menambah jam kerja karena shop drawing terlambat dan sudah diburu-buru oleh lapangan.
· Adanya problem yang terjadi
yang tidak terprediksi sebelumnya dan harus segera ditangani. Ini
biasanya karena adanya risiko yang tidak diperhitungkan atau risiko yang
diremehkan dan tidak diantisipasi sehingga terjadi.
· Adanya perubahan-perubahan di lapangan yang kurang dikomunikasikan dengan baik sehingga memunculkan kesalahan.
· Mutu pekerjaan yang jelek sehingga perlu metode perbaikan yang sifatnya segera.
· Prosedur yang banyak dan “ribet”.
· Pekerjaan lapangan yang terlambat sehingga harus menambah shift jam kerja
· Permintaan laporan yang mendadak dan harus cepat
· Dll.
Mengapa Perlu Problem Solving?
Tiap orang pada dasarnya ada masalah.
Kondisi tersebut sebenernya adalah hal yang alamiah karena masalah akan
muncul bila orang memiliki keinginan. Tapi tidak setiap orang tau cara
yang benar dalam menemukan solusi masalah yang efektif. Demikian pula
halnya dengan proyek terutama proyek konstruksi. Sedemikian banyak
masalah yang seringkali melibatkan begitu banyak pihak, akan
meningkatkan level kompleksitasnya. Kondisi yang menuntut pelaku proyek
untuk bekerja efektif dan efisien. Kalau bisa bahkan tanpa membuat
kesalahan sedikitpun. Bagaimana bisa?
Pada dasarnya, kondisi kompleksitas yang
tinggi yang terjadi pada proyek konstruksi, juga terjadi pada
perusahaan non-konstruksi yang tingkat perubahannya tinggi. Perusahaan
yang mampu menghadapi dan mengantisipasi perubahan yang tinggi akibat
persaingan dan perubahan pasar atau yang lain akan membuat perusahaan
itu maju. Lalu bagaimana perusahaan tersebut mampu mengatasi
kompleksitas yang terjadi?
Pada 1990, The American Society for Training & Development
melaporkan hasil survey tentang kebutuhan terhadap sumber daya manusia.
Survey itu dilakukan terhadap para eksekutif dari 93 % perusahaan yang
terdaftar di Fortune 500. Hasilnya adalah subyek2 yang paling menjadi
perhatian dlm mendidik karyawan;
- Problem Solving (58 %)
- Teamwork (51 %)
- Interpersonal skills (48 %)
- Oral communication (45 %)
- Listening (43 %)
- Writing ( 41 %)
- Goal Setting ( 33 % )
Bagaimana di Indonesia?
Kompleksitas proyek di Indonesia semakin
hari semakin tinggi seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Namun rasanya tidak banyak perusahaan konstruksi yang mampu untuk
mengantisipasinya dengan baik. Kita sudah lihat kebangkrutan perusahaan
konstruksi BUMN Karya yaitu PT. Istaka Karya. Untuk perusahaan
konstruksi swasta lain mungkin jumlahnya jauh lebih banyak.
Ada beberapa argumentasi mengenai kenapa
banyak perusahaan konstruksi mengalami kebangkrutan. Salah satunya
adalah kelemahan sistem pedidikan kita yang tidak secara serius
mempersiapkan lulusannya dengan ketrampilan problem solving yang salah
satunya menuntut kreatifitas yang tinggi dalam aplikasinya.
Kreatifitas menjadi kata kunci dalam hal
ini karena kreatifitas yang dimiliki oleh orang Asia umumnya masih di
bawah orang barat. Prof. Ng Aik Kwang dari Univ. of Queensland, dalam
bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” (2001) yang
kontroversial tapi menjadi “best seller”, mengemukakan beberapa hal
tentang bangsa-bangsa Asia:
1. Bagi kebanyakan orang Asia
ukuran sukses adalah banyaknya materi yang dimiliki. Passion (cinta
terhadap sesuatu) kurang dihargai sehingga bidang kreativitas kalah
populer dibanding profesi dokter dan sejenisnya, yang dianggap bisa
cepat menjadikan seseorang untuk memiliki kekayaan banyak.
2. Bagi orang Asia, banyaknya
kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan
tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai cerita, novel,
sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena
beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan
sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun di-tolerir.
3. Bagi orang Asia, pendidikan
identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” bukan pada pengertian.
Ujian Nasional, tes masuk Perguruan Tinggi, dll., semua berbasis
hafalan. Pendidikan bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana
menggunakan rumus2 tersebut.
4. Karena berbasis hafalan, murid2
di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik
menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit sedikit
ttg banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
5. Karena berbasis hafalan, banyak
pelajar Asia jadi juara dalam Olimpiade Fisika dan Matematika. Tapi
hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah
internasional lainnya, yang berbasis inovasi dan kreativitas.
6. Orang Asia takut salah (KIASI)
dan takut kalah (KIASU). Akibatnya, sifat eksploratif sebagai upaya
memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko, kurang
dihargai.
7. Bagi kebanyakan bangsa Asia,
bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat
dalam proses pendidikan di sekolah.
8. Karena takut salah dan takut
dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta
jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni
guru / narasumber untuk minta penjelasan tambahan.
Sekilas Problem Solving
Problem solving adalah
suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan masalah &
memecahkan berdasarkan data & informasi yang akurat, sehingga dapat
diambil kesimpulan yang tepat & cermat (Hamalik, 1994:151). Menurut
Cagne pemecahahan masalah merupakan tipe belajar yang tingkatannya
paling tinggi & paling kompleks dibandingkan dgn tipe balajar
lainnya. Persoalan utama di sini bukanlah bagaimana teori memecahkan
masalah itu sendiri, tapi adalah memahami apa sesungguhnya problem.
Keahlian problem solving memiliki ciri khusus yaitu:
- Menuntut kemampuan memetakan masalah dan akar masalah dengan jelas
- Menuntut kemampuan untuk men”generate” solusi dan menemukan solusi yang jitu.
- Menuntut langkah sistematis yang rasional
- Menuntut pengambilan keputusan yang benar.
Ciri penting problem solving itu mensyaratkan keahlian:
- Mind Mapping skill
- Creativity skill
- Grouping skill
- Rational skill
- Systematic skill
- Decision making skill
Manfaat Pengetahuan Problem Solving
Pemecahan masalah adalah kebutuhan dasar
manusia yang dapat membentuk sikap kreatif, kritis, teliti,
menumbuhkan kepekaan, kepercayaan diri dan inisiatif serta aktifitas
mental lainnya. Pembiasaan ini sangatlah penting dalam rangka
mempersiapkan generasi yang siap menghadapi tantangan dan perubahan di
masa yang akan datang. Pembiasaan memecahkan sejak dini akan menjadikan
kemampuan yang sangat tinggi dan mampu menyelesaikan tugas-tugas multi
tasking dengan cepat dan akurat. Sehingga diharapkan akan mampu untuk
mengatasi dan antisipasi tingginya level kompleksitas proyek terutama
proyek konstruksi.
sumber : (www.manajemenproyekindonesia.com)